Rabu, 11 September 2013

SISTEM AKUAKULTUR MULTITROFIK TERPADU :
"Solusi Terkini Sistem Akuakultur Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan"


Ketika membaca The State of World Fisheries and Aquaculture yang dirilis oleh FAO (2012) kembali mengejutkan saya. Pada alinea awal, sub bab aquaculture, halaman 24 tertulis jelas bahwa " aquaculture has also evolved in terms of technological innovation and adaptation to meet changing requirement". Pernyataan ini menunjuk jelas terhadap kebutuhan produk-produk akuatik sebagai sumber protein utama bagi penduduk dunia. Namun demikian, sangat kontradiktif jika dilihat bahwa lebih dari 60 % produk akuakultur dihasilkan dari kegiatan budidaya ikan skala kecil dan ekstensif. 

Di Indonesia, meskipun dikenal sebagai negara penghasil produk perikanan nomor 5 dunia, tetapi secara teknologi, tidak ada bedanya dengan kegiatan budidaya ikan di zaman Majapahit. Peningkatan produksi lebih dikarenakan oleh perluasan areal (ektensif) bukan karena sentuhan teknologi. Akibatnya, luas hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak semakin menghawatirkan, badan sungai dan danau tertutup karamba-karamba ikan, konflik sosial yang terjadi meningkat karena bersinggungan dengan sektor industri lain.

Gencarnya industrialisasi di daerah perkotaan semakin menggeser akuakultur ke pelosok. dampaknya, biaya operasional meningkat karena semakin jauh dari target pasar, terjadi pembengkakan pada biaya transportasi untuk suplai logistik, pakan, dan bibit serta hasil panen. Meskipun penempatan karamba ikan semakin jauh ke hulu sungai guna mendapatkan suplai air dengan kualitas baik, kegagalan panen akibat kematian massal masih juga menghantui, karena ternyata kegiatan industri, seperti pertambangan batu bara dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit justru telah lebih dahulu di daerah hulu yang sedikit banyak berkontribusi pada perubahan lingkungan sungai. 

Kekeruhan, peningkatan bahan organik, konsentrasi oksigen terlarut yang rendah, amoniak, nitrit, cemaran logam berat dan pestisida adalah beberapa parameter kualitas air yang menjadi isu utama penyebab kegagalan panen akuakultur berbasis open water ini.

Masa depan akuakultur bagi daerah dengan intensitas industri tinggi seperti Kalimantan Timur ini, mau tidak mau harus mulai di arahkan pada sistem akuakultur berbasis daratan (land-based aquaculture). Untuk itu, diperlukan inovasi teknologi terkait dengan sistem apa yang dapat diimplementasikan kepada masyarakat akuakultur yang semakin terjepit ini.

Sistem akuakultur multitrofik terpadu (Integrated Multi-Trophic Aquaculture, IMTA) adalah konsep teknologi akuakultur yang diharapkan bisa menjawab berbagai permasalahan di atas. IMTA mengedepankan sistem alami sehingga lebih ramah lingkungan dalam proses produksinya. Di mana, sistem IMTA melibatkan berbagai level trofik organisme menurut tatanan rantai makanan (food webs) yang terpadu di dalam satu sistem.
Gambar 1. Konfigurasi sistem IMTA yang dikembangkan di FPIK-Universitas Mulawarman

IMTA akan menghasilkan multi organisme (karnivora dan herbivora) sebagai produknya, meremediasi limbah secara otomatis karena melibatkan organisme heterotrofik dan fototrofik sebagai biofilter, sehingga meminimalkan buangan limbah nutriennya, bahkan lebih mengarah pada zero-waste discharge jika diaplikasikan pada sistem akuakultur resirkulasi. 

Berdasarkan pada hasil penelitian tahun 2012, sistem IMTA sebagaimana Gambar 1 di atas, dimana volume air 2,2 meter kubik, ukuran bak 2 x 1 meter, dan 8 buah talang air dengan panjang masing-masing 2 meter sebagai jalur biofilter, serta hanya menggunakan pompa 13 watt untuk mendorong sirkulasi air, telah  dapat menghasilkan 23,56 kg ikan betok; 36,85 kg ikan nila; 1,139 kg kangkung, 333,6 g kemangi, 217,6 g Sawi dan 789.533 individu cacing sutera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar